“Dream as if you’ll live forever. Live as if you’ll die today.”
“Bermimpilah seperti kamu akan hidup selamanya dan hiduplah seperti kamu akan meninggal hari ini.”
-James Dean (Aktor Amerika), 1931-1955-

Rabu, 03 Juni 2009

Mengapa Kita Tidak Kaya ?

Sabtu minggu lalu ribuan siswa di Bogor menerima
raport kenaikan kelas. Sebagian siswa dari
keluarga
yang cukup berada bersama orang tuanya mengendarai
mobil mereka menuju ke sekolah. Ratusan atau
bahkan
ribuan siswa bersama orang tuanya membanjiri
jalan-jalan raya. Saya dan anak saya bagaikan ikan
kecil di tengah-tengah lautan manusia yang berebut
naik angkot. Suasana jalan menjadi macet.
Kemacetan
semakin parah ketika kami berdua sampai di dekat
Istana Bogor. Angkot-angkot yang penuh penumpang
harus
berebut jalan dengan mobil-mobil mewah yang hendak
masuk ke halaman sekolah Regina Pacis dan Sekolah
Budi
Mulia yang ada di kawasan tersebut.


Karena SD Budi Mulia, tempat anak saya bersekolah
cukup bonafide, banyak teman sekelas anak saya
yang
diantar oleh orang tuanya dengan mobil-mobil
bermerek
keluaran tahun terakhir. Sedangkan saya yang
berpenghasilan sedang-sedang saja, cukup naik
angkot saja.

Saya tidak tahu apa yang dipikirkan anak saya.
Walaupun ia naik ke kelas 6 dengan nilai raport
yang
meningkat, tapi ia tampak murung. Setelah
menerima
raport dan menyelesaikan beberapa urusan
administrasi,
kami berdua keluar dari komplek sekolah elit itu.
Kami
berdua naik becak menyusuri Taman Topi, ke arah
Pasar
Anyar, tempat angkot 08 ngetem menunggu penumpang.
Anak saya bersungut-sungut, katanya "Uh..sebel,
kenapa
sih kita nggak beli mobil saja, biar nggak
susah-susah
naik becak"

Saya menjadi sedikit tahu apa yang sedang
dipikirkan
anak saya. "Supaya kamu dapat bersyukur, kamu
jangan
membayangkan sedang berada di dalam mobil empuk
yang
ber AC. Coba bayangkan, seandainya kamu yang ada
di
bagian belakang becak ini, harus menggenjot becak
di
tengah terik matahari demi mendapatkan uang 2.000
perak. Kita seharusnya bersyukur, karena kita bisa
naik becak tanpa harus bersusah payah menggenjot,
apalagi menggenjot untuk orang lain, seperti yang
dilakukan tukang becak itu " jawab saya.

Sebelum naik angkot 08 Jurusan Pasar Anyar -
Cibinong,
saya mengeluarkan selembar uang ribuan untuk
membeli
dua gelas air kemasan dari merek yang tidak
terkenal
yang dijajakan oleh pedagang cilik. Rasanya
cessssss...dingin dan segar. Dan sayapun bersyukur
karena masih bisa menikmati kesegaran air seharga
gopek itu.

"Kamu harus bersyukur, karena saat panas-panas
seperti
ini, kamu dapat menikmati air dengan cuma-cuma,
tanpa
harus berjualan seperti anak itu" saya berusaha
menasehati walaupun anak saya tak menaruh minat
pada
pembicaraan saya. Selama dalam perjalanan, anak
saya
terus berdiam diri.

Ketika angkot yang kami tumpangi menyusuri Jl. Raya
Bogor, jalanan menjadi begitu macet. Anak saya
semakin
menunjukkan kekesalan. "Maap Mas, bukannya saya
pengin tahu. Tapi ini maap, sekali lagi maap, kalau dimaapkan saya mau bertanya kira-kira Mas ini sedang memikirkan apa ya ?" tanya saya menirukan gaya mpok
Minah yang ada di serial Bajaj Bajuri, berusaha
menggoda anak saya supaya tidak manyun.

"Ah, sebel ! Nggak enak naik angkot, macet lagi !
Enak
dong kayak teman-teman, ke sekolah diantar pakai
mobil" jawab anak saya ketus.

Dalam keadaan lelah, lapar dan haus seperti itu
alangkah tidak bijaksananya kalau saya berceramah
tentang pentingnya bersyukur. Apa lagi suasana
panas
dan macet sehingga angkot yang kami tumpangi
hampir
tak bergerak, terhalang oleh puluhan angkot yang
ngetem menunggu ratusan buruh perempuan keluar
dari
pabrik konveksi. Jadi saya memutuskan untuk diam.

Sejenak kemudian terdengar bunyi "ecek-ecek" dari
beberapa tutup softdrink yang terpaku di kayu
kecil,
di tangan seorang pengamen kecil. Pengamen
amatiran
yang masih mengenakan celana merah; seragam SD
dan
sepotong kaos kumal dan tanpa alas kaki itu
berusaha
masuk dan jongkok di angkot yang kami tumpangi.
Tangannya yang kurus berusaha menggerak-gerakkan
"alat musik"nya sekedar untuk mengiringi nyanyian
sumbangnya. Suara "ecek-ecek" yang tidak pas
dengan
tempo lagu yang dia bawakan, ditambah lagi dengan
suara parau dan intonasi yang tidak jelas, serta
pitch control yang ancur-ancuran membuat kami berdua
terganggu. Tapi karena pengamen kecil yang hampir
buta nada itu berusaha mati-matian membawakan lagu
"Menuju Puncak" yang biasa dinyanyikan oleh Tia, Haikal
dan teman-temannya di Indosiar, maka kami balik
tersenyum dan mungkin lebih tepat disebut mentertawakan.

"Bagaimana komentar Mas Hari Rusli ?" saya meniru
gaya Adi Nugroho, berusaha menggoda anak saya yang
mulai tersenyum-senyum juga. "Pemirsa di angkot, jangan
sampai lupa ya.., ketik AFI spasi Ujang. U je a en
ge dan kirim sms sebanyak-banyaknya !" saya terus
berusaha menggoda anak saya.

"Itu mah, akademia yang dieleminasi tanpa koper !
" jawab anak saya dalam logat Sunda yang kental.

Tapi biar bagaimanapun performance siang itu,
saya memberikan beberapa keping uang recehan ke dalam
kantong bekas pewangi pakaian yang baunya sudah
tak wangi lagi sebagai tanda belas kasihan saya untuk
pengamen cilik itu. Saat pengamen kecil itu
melompat keluar dari angkot, kami melihat dengan jelas
koreng yang menganga di punggungnya yang dibalut dengan
kaos usang yang sudah tidak utuh lagi.

> > "Kamu harusnya bersyukur karena kamu tidak perlu
> > bersusah payah mencari uang jajan sendiri. Kamu
> juga
> > harus bersyukur karena kamu punya pakaian yang
> utuh,
> > sepatu yang utuh dan paling penting kamu punya
> orang
> > tua yang tidak akan membiarkan anaknya terluka"
> Saya
> > menggunakan moment itu untuk mengingatkan anak
> saya
> > tentang perlunya mensyukuri sekecil apapun berkat
> yang
> > telah kita terima.
> >
> > Turun dari angkot kami masih harus naik ojek
> menuju
> > rumah kami yang ada di komplek RSSSS (Rumah Sempit
> > Sumpek Sangat Sederhana) yang kami cicil dengan
> > fasilitas KPR. "Sebel, kenapa sih kita beli rumah
> di
> > kampung yang udik" lagi-lagi anak saya mengeluh.
> >
> > "Kita harus bersyukur. Walaupun tinggal di udik,
> kita
> > bisa hidup tenang. Dari pada kita tinggal di
> Jakarta
> > tapi kita tergusur atau harus bersusah payah
> membuat
> > gubuk di kolong jembatan" saya masih tetap
> berusaha
> > menasehati anak saya.
> >
> > Saat ojek yang kami tumpangi melewati jalan yang
> > berair karena ada saluran PAM yang bocor,
> tiba-tiba
> > tetangga kami yang kebetulan punya jabatan di
> sebuah
> > bank swasta, dengan mobil barunya berusaha
> mendahului
> > dan....."crat !" kami bertiga (saya, anak saya dan
> > tukang ojek) terguyur air yang sudah bercampur
> dengan
> > lumpur kecoklatan.
> >
> > "Hu uh !" anak saya spontan mengeluh. Sayapun
> hampir
> > saja mengumpat. Tapi saya berusaha menahan diri
> karena
> > saya pikir umpatan saya tidak bakal bisa merubah
> > keadaan. Selain itu saya merasa perlu menjaga
> diri,
> > menjaga emosi dan menjaga mulut karena di depan
> > anak-anak saya berperan sebagai guru Kasih yang
> harus
> > pandai bersyukur setiap saat dan dalam setiap
> keadaan,
> > baik yang suka maupun duka.
> >
> > "Kenapa sih, sudah tahu kalau salah, membuat orang
> > menderita tetapi tetap tidak meminta maaf ?" anak
> saya
> > mempertanyakan sikap arogan tetangga kami.
> >
> > "Sudahlah, permintaan maaf tetangga kita tidak
> akan
> > merubah keadaan kita. Biarkan saja! Kita harus
> > mengampuni orang tanpa harus menunggu orang itu
> > meminta maaf kepada kita, maka Tuhan akan
> menggantikan
> > kekesalan kita dengan suka cita"
> >
> > Sesampainya di rumah, saya tidak memaksakan diri
> untuk
> > mengajarkan Kasih dan ucapan syukur. Saya pikir
> > "pengajaran" saya akan lebih efektif kalau saya
> > mempersiapkannya dengan kata-kata yang tepat dan
> > menyampaikannya pada waktu yang tepat. Saya pikir
> saya
> > akan mengambil waktu sebelum tidur nanti malam.
> Tapi
> > sungguh tidak disangka, saat kami hendak makan,
> anak
> > saya kembali membuka pembicaraan. Kebetulan bibi,
> > pembantu rumah kami hari itu memasak sayur lodeh,
> > sambal terasi dan ikan asin. Walaupun makanan itu
> > merupakan menu favorit keluarga kami, tapi anak
> saya
> > sering menyebut menu tersebut tidak "populer"
> >
> > "Lodeh lagi, lodeh lagi !" keluh anak saya. Belum
> > sempat saya untuk kembali menasehati, anak saya
> > mengajukan pertanyaan yang sulit saya jawab.
> >
> > "Kenapa sih kita nggak kaya ?"
> >
> > Sambil kebingungan mencari-cari jawaban yang
> tepat,
> > saya menjawab sekenanya yang penting menenangkan.
> > "Kita bisa makan tiga kali sehari saja, sudah
> bagus.
> > Dan kita harus bersyukur karena tidak semua orang
> bisa
> > merasakan makanan seperti kita"
> >
> > "Tapi kenapa kita tidak bisa punya mobil yang
> bagus,
> > rumah bertingkat dan punya duit yang banyak untuk
> > jalan-jalan ke luar negeri ? Kenapa sih kita nggak
> > kaya seperti Pak Haji yang punya toko itu, biar
> kita
> > bisa bebas makan jajanan tanpa harus membeli ?"
> tanya
> > anak saya seakan-akan memprotes keadaan ini. Saya
> > tidak bisa dan tidak berminat menjawab. Saya hanya
> > menarik nafas dalam-dalam sekedar untuk meredam
> rasa
> > marah dan jengkel karena sikap anak saya yang
> tidak
> > pandai bersyukur.
> >
> > Karena tidak mendapatkan jawaban, anak sayapun
> mencoba
> > menjawab sendiri pertanyaannya dengan berkata
> > "O..iya-ya.setiap hari kita kan hanya berdoa
> minta
> > makanan secukupnya, bukan meminta kekayaan yang
> > berlimpah-limpah" Rupanya anak saya menggunakan
> Doa
> > Bapa Kami sebagai referensi. Saya kaget sekali,
> tidak
> > menyangka doa yang setiap hari diucapkan dan
> telah
> > menjadi rutinitas sejak ia berusia 3 tahun
> ternyata
> > bisa menolong kami mendapatkan jawaban mengapa
> hidup
> > kami hanya berkecukupan, tidak berkelimpahan,
> apalagi
> > bermewah-mewahan. Sayapun tersenyum lega dan
> > mengiyakan kata-kata anak saya yang sangat bijak
> > dengan berkata
> >
> > "Nah, ini baru anak pintar. Coba kamu ingat nggak,
> ada
> > tulisan apa di hiasan dinding yang tergantung di
> > kamarmu ?"
> >
> > "Lebih baik sedikit barang dengan disertai takut
> akan
> > Tuhan, dari pada banyak harta dengan disertai
> > kecemasan" jawab anak saya dengan gaya hafalan
> > anak-anak Sekolah Minggu.
> >
> > "Terus, yang tergantung di ruang ini (red :ruang
> > makan) ?" saya bertanya sambil menutup mata anak
> saya
> > untuk mencoba mengetesnya.
> >
> > "Lebih baik sepiring sayur dengan Kasih, dari pada
> > lembu tambun dengan kebencian"
> >
> > "Terus, ada tulisan apa lagi di bawahnya ?" saya
> > mencoba menguji daya ingat anak saya
> >
> > "Amsal 15 ayat 17, Bu....!" teriak anak saya
> seperti
> > layaknya seorang murid menjawab pertanyaan
> gurunya.

Tidak ada komentar: